Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi., Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
Kepemimpinan Anies Baswedan dan Ahmad Riza Patria berakhir pada 16 Oktober dan Kemendagri menetapkan dan melantik Heru Budi Hartono sebagai Pejabat Gubernur DKI Jakarta sampai 2024 dan dilantik pada Senin 17 Oktober 2022. Meski demikian, PR dan tantangan bagi Heru sampai 2024 membangun Jakarta pastinya tidak mudah, terutama pembangunan di bidang lingkungan. Jakarta sebagai megapolitan tidak bisa terlepas dari isu strategis penguatan kelembagaan dan perekonomian. Terkait ini, salah satu isu yang menarik yaitu lingkungan dan sempat dibahas di Forum G-20 Juni 2022 dalam kelompok Environment Deputies Meeting and Climate Sustainability Working Group (EDM-CSWG). Isu yang diajukan yaitu pertama: supporting more sustainable recovery, kedua: enhancing land and sea based actions to support environment protection and climate objectives, dan ketiga: enhancing resources mobilization to support environment protection and climate objectives.
Harapan ketiga isu itu merumuskan solusi terbaik untuk kepentingan lingkungan dan perubahan iklim, termasuk realisasi dari target yang ditetapkan di Paris Agreement yaitu pembatasan suhu global 1,5 derajat celcius. Jakarta sebagai megapolitan dan kawasan industri tidak dapat terlepas dari tantangan ini sehingga jangan sampai Jakarta justru menjadi megapolitan dan pastinya ini menjadi PR bagi Heru sampai pilkada definitif tahun 2024 mendatang.
Argumen pentingnya ketiga isu itu karena dominasi perekonomian global dan imbasnya menghasilkan 80% emisi gas rumah kaca dan polusi plastik. Fakta ini menegaskan salah satu isu pentingnya yaitu mereduksi sampah. Beralasan jika muncul seruan yang disebut ‘Restorasi Ekosistem’ dengan fokus khusus menciptakan hubungan yang terbaik dengan alam karena tragedi kerusakan ekosistem dan lingkungan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Ironisnya, kita sebagai subyek dan obyek pembangunan tidak berkaca dari pengalaman.
Padahal, rentetan bencana yang terjadi adalah implikasi hubungan sebab – akibat dari perilaku. Bahkan, kebijakan otda yang menuntut daerah menyerap investor dalam proyek industrialisasi ternyata semakin memicu terjadinya kerusakan ekosistem lingkungan hidup. Oleh karena itu sangat beralasan jika muncul argument bahwa era otda justru kian menyuburkan terjadinya perusakan lingkungan. Fakta ini tentu menjadi suatu tantangan bagi pembangunan DKI Jakarta kedepannya, siapapun pemimpinnya, selepas Heru sampai pilkada 2024 mendatang.
Ironi
Selain itu, pesatnya industrialisasi dan pembangunan perkotaan juga berdampak pada pencemaran dan karenanya sangat beralasan jika pemkot-pemkab dianjurkan untuk bisa membangun kawasan hutan kota sebagai alternatif untuk dapat meminimalisasi dampak pencemaran. Terkait ini, keberhasilan berdirinya hutan kota di tengah Kota New York, yang dinamai Central Park, bisa dijadikan contoh bahwa mengembalikan fungsi taman kota menjadi sesuatu yang penting saat ini. Upaya pemulihan fungsi ruang terbuka hijau akan lebih bermakna bila program di daerah perkotaan membuat sekitar 25 persen taman interaksi sosial di lingkungan permukiman padat di wilayah perkotaan itu sendiri. Meski mungkin tidak dipadati ragam pepohonan, lahan taman itu tidak diaspal dan bila hujan, sebagian air masih bisa meresap ke tanah taman untuk disimpan sebagai cadangan air. Akan lebih baik lagi bila ruang terbuka hijau ditanami pepohonan yang bisa mengurangi polusi udara secara signifikan (Imansyah, 2006).
Yang pasti, pencemaran dan polusi adalah dampak inti dari urbanisasi yang merupakan proses yang memberikan warna dan menggerakkan perekonomian kota. Permukiman di kota tidak terlepas dari pertumbuhan penduduknya. Kota, senantiasa melahirkan harapan baru yang tidak didapat di desa. Ini berkembang seiring dengan tahapan pembangunan yang terjadi, berupa laju pemusatan kekuatan ekonomi yang melahirkan berbagai akibat kekumuhan sehingga menuding urbanisasi sebagai biang keladi. Bahayanya, akumulasi urbanisasi dalam skala besar sebenarnya merupakan satu gejala baru yang patut disimak karena berefek kekumuhan dan kekumuhan ini berdampak pada rusaknya keseimbangan ekosistem & lingkungan.
Urbanisasi hanya salah satu dari penyebaran penduduk, dengan kecenderungan sebarannya mengalir ke daerah yang tersedia sumberdaya dan lapangan kerja, terutama terbukanya peluang sector informal di kota. Logis jika arus balik selalu lebih tinggi dari arus mudik dan ini sangat rentan. Fakta ini sekaligus membenarkan Otda gagal membangun daerah dan DKI Jakarta tetap menjadi tujuan perantauan. Realitas ini menjadi tantangan bagi Heru sampai hasil pilkada definitif tahun 2024 mendatang.
Urbanisasi sebenarnya bukanlah merupakan penyebab kota menjadi padat dan kumuh. Urbanisasi hanya lebih merupakan akibat dibalik pembangunan ekonomi, perkembangan industri, serta perubahan teknologi, kemajuan angkutan, pesatnya informasi-komunikasi dan lemahnya pelayanan publik. Kenyataan ini bisa dimengerti kalau kepadatan dan juga ketidakteraturan yang menyebabkan kekumuhan kota sehingga memicu dampak berlanjut terhadap kerusakan ekosistem dan lingkungan hidup (Winarno, 2005).
Konsekuensi dari itu semua maka ancaman terjadinya bencana adalah hubungan sebab – akibat yang tidak bisa ditolak dan karenanya janganlah menyalahkan alam dan menuduh Tuhan melaknat kita sehingga kita semua dan para pemimpin berseremonial menggelar doa bersama yang seolah-olah tampak khusyu’. Fakta terjadinya berbagai bencana yang ada selalu menyisakan duka. Meski banyak retorika dibangun untuk mengatasi ini, tetapi seringkali tidak dibarengi tindakan – kebijakan nyata.
Peningkatan bencana terus terjadi dari tahun ke tahun. Terkait ini, sindiran pengamat menyebut kita bangsa Indonesia tak bisa lagi bangga dengan julukan Zamrud Khatulistiwa, karena pada kenyataannya, negeri kita adalah negeri sejuta bencana. Data BNPB menyebutkan ada 3.058 bencana selama 2021 (1 Januari – 28 Desember 2021, terbanyak banjir 1.288 kasus) sedangkan di tahun 2020 sebanyak 4.649 bencana. Meski menurun tetapi kewaspadaan tetap harus dijaga.
Mengacu fakta rentetan bencana, problem kompleks dibalik pembangunan perkotaan dan dampak simultan maraknya kawasan kumuh di perkotaan maka dewasa ini masalah keberlanjutan (sustainability issues) merambah di semua bidang kehidupan manusia, tak terkecuali pada pembangunan segitiga lingkungan-sosial-ekonomi kota (Roychansyah, 2006). Bahwa perkembangan sebuah kota mulai 2 dasawarsa terakhir ini harus aspiratif terhadap kebutuhan dan eksistensi masa depan dan ini sering dijawab dengan beberapa kata kunci efisiensi, intensifikasi, konservasi, revitalisasi di dalam upaya menyelaraskan pembangunan kembali kota (sustainable urban redevelopment movement). Oleh karena itu, DKI Jakarta sebagai megapolitan harus semakin cerdas dalam pembangunannya.