Oleh: Teguh Boediyana, Ketua Komite Pendayagunaan Pertanian
Di tahun 1990 an sebelum era reformasi, Presiden Soeharto “mengetuk” nurani dan hati para konglomerat untuk menyisihkan sebagian kecil keuntungan yang mereka peroleh guna membantu pembinaan dan pengembangan usaha kecil. Ada beberapa perusahaan besar dan konglomerat pemilik perusahaan besar seperti Usman Admadjaja, Sudono Salim, Mochtar Riyadi dan beberapa yang lain yang menyambut himbauan Presiden Soeharto dan memberikan sumbangannya. Dana yang terkumpul kemudian dikenal sebagai Dana Jimbaran . Saat itu nama seperti Hary Tanu atau Chaerul Tanjung belum muncul. Tentang Dana Jimbaran itu sendiri masyarakat banyak yang tidak tahu bagaimana perkembangan dan sejauh mana kontribusinya terhadap pengembangan usaha kecil.
Akan tetapi setidak tidaknya Pemerintah saat itu telah mengingatkan bahwa perusahaan besar ataupun para konglomerat agar mempunyai rasa empati dan kewajiban moral untuk menyisihkan sebagian keuntungan untuk mempercepat pengembangan usaha kecil dan tidak cukup merasa telah berkontribusi pada pembangunan karena sudah membayar pajak. Tidak ada penggunaan istilah CSR (Corporate Social Responsibility) ataupun digunakannya peraturan formal untuk penyisihan sebagian keuntungan seperti yang dihimbaukan oleh Presiden Soeharto pada saat itu.
Baru sekitar sepuluh tahun kemudian , dalam pasal 74 Undang Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, secara formal ada ketentuan tentang kewajiban terkait Tanggung jawab Social dan Lingkungan atau yang lebih dikenal dengan istilah CSR (Corporate Social Responsibility) . Berbeda dengan yang dilakukan Presiden Soeharto yang waktu itu mengetuk perusahaan atau konglomerat secara umum, dalam Pasal 74 Undang Undang No. 40 tahun 2007 tanggung jawab dan kewajiban CSR hanya dibebankan kepada perseroan yang menjalankan usahanya di bidang yang berkaitan dengan sumberdaya alam. Selanjutnya untuk pelaksanaannya diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2012 yang sangat ringkas hanya berisikan sembilan pasal.
Kebijakan Setengah Hati
Mencermati ketentuan tentang CSR yang tersurat dalam Pasal 74 UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2012 ini , sepertinya kebijakan dan program CSR adalah sebagai kebijakan “setengah hati “ meskipun sangat berkaitan dengan masalah sosial dan lingkungan. Kita katakan sebagai kebijakan setengah hati karena :
Pertama, bahwa kewajiban CSR hanya terbatas pada perseroan yang usahanya berkaitan dengan sumberdaya alam. Bagi perusahaan yang bergerak di luar yang berkaitan dengan sumberdaya alam sepertinya terbebas dengan kewajiban CSR. Padahal tanggung jawab social dan lingkungan yang sangat penting tersebut harusnya melekat pada seluruh perusahaan.
Kedua, disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2012 bahwa tanggung jawab dalam penyusunan program CSR berada di pundak Direksi Perseroan. Tidak ada penjelasan bagaimana pertanggung jawaban kepada masyarakat ataupun Pemerintah. Juga tidak ada ketentuian pelibatan masyarakat dalam rencana pemanfaatan dan penggunaan CSR.
Ketiga, tersurat dalam pasal 3 ayat 2 PP No. 47 Tahun 2012 bahwa kewajiban CSR dapat digunakan di dalam ataupun di luar lingkungan perseroan. Jelas dengan ketentuan ini membuka peluang bagi perseroan untuk memanfaatkan dana CSR untuk kepentingan mereka sendiri. Ibaratnya dana keluar dari kantong kanan dan masuk lagi ke kantong kiri perseroan. Disinilah dirasa penting adanya lembaga yang independen untuk melakukan audit dalama pelaksanaan program CSR dari perseroan yang wajib melaksanakan.
Keempat, dalam Undang Undang maupun dalam Peraturan Pemerintah terkait CSR, tidak ada kejelasan berapa persen besaran CSR yang harus dikeluarkan oleh Perseroan. Dalam ketentuan yang ada, dana CSR dari Perseroan diperhitungkan sebagai biaya perseroan. Ketentuan ini akan terkait dengan pengurangan kewajiban Pajak Perseroan yang bersangkutan.
Kelima, tidak ada sanksi yang jelas bagi perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban CSR seperti diatur dalam Undang undang.
Pada tahun 2015 , Abdul Aziz Manurung seorang dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Kisaran, membuat kajian tentang pelaksanaan PP No. 47 tahun 2012 tentang Tangggung Jawab Sosial dan Lingkungan atau CSR di salah satu BUMN Perkebunan di Sumatera Utara. Hasil kajian yang dilakukan oleh Sdr. Abdul Azis Manurung tersebut sangatlah menarik. Disebutkan bahwa pelaksanaan CSR sangat tidak efektif seperti yang diharapkan dan diinginkan seperti tersurat dalam pasal 74 Undang Undang No. 40 tahun 2007. Sama sekali pelaksanaan CSR tidak menyentuh kebutuhan masyarakat dalam meningkatkan perekonomian atau mengatasi persoalan yang ada. Sdr. Abdul Aziz Manurung juga menyarankan perlunya CSR diatur dalam satu Undang Undang khusus yang memiliki kekuatan hukum dan memberi sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan.
Perlu Penataan Ulang
Program CSR saat ini menjadi sangat penting dan esensial mengingat semakin besarnya jurang antara masyarakat berpendapatan rendah dengan kelompok berpenghasilan tinggi serta banyaknya kerusakan lingkungan. Juga kebutuhan dukungan dana untuk pembinaan usaha kecil atau mikro serta perbaikan lingkungan. Oleh karena itu perlu Pemerintah dan DPR –RI melakukan penataan ulang tentang CSR. Memang CSR tidak mungkin akan dapat berperan sebagai satu satunya instrument untuk mengatasi gap atau jurang perbedaan tersebut diatas. Akan tetapi setidak tidaknya dapat menjadi salah satu cara untuk ikut mengatasi masalah yang ada.
Terdapat cara yang sebenarnya dapat dilakukan oleh Pemerintah agar program CSR yang ada saat ini dapat berdaya dan berhasil guna. Menyusun kembali ketentuan CSR dalam bentuk Undang Undang rasanya terlalu sulit dan membutuhkan waktu yang panjang. Juga ada kemungkinan banyak pihak yang mencoba menghalangi karena bersangkutan dengan kepentingan korporasi mereka. Cara paling cepat dan tepat adalah meminta agar Presiden Joko Widodo melakukan perubahan dan penyempurnaan atas Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Dalam penyempurnaan tersebut ada beberapa hal yang perlu dan harus dimasukkan dan dilakukan , antara lain :
Pertama, proses penyempurnaan Peraturan Pemerintah melibatkan unsur masyarakat yang kompetent dan memiliki komitmen untuk mensejahterakan masyarakat serta peduli lingkungan. Hindari menyerahkan perumusan Peraturan Pemerintah kepada pihak pihak yang berkecimpung dalam dunia usaha yang pasti memiliki kepentingan bisnis.
Kedua, perlu ada sanksi yang jelas dan keras bagi perseroan yang tidak melaksanakan program CSR seperti yang tersurat dalam pasal 74 UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Ketiga, harus tersurat secara jelas berapa besaran dana untuk CSR dari Perseroan.
Keempat, dibentuk Lembaga atau Badan Khusus yang bertugas untuk melakukan pengawasan dan monitoring pelaksanaan program CSR . Lembaga ini melibatkan unsur dari masyarakat dan institusi yang terkait seperti Kementerian Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan , dan instansi/lembaga terkait lainnya. Lembaga ini tidak dibiayai dari APBN, tetapi dari sebagian kecil dari dana CSR yang dihimpun.
Kelima , ada ketentuan bahwa dalam menyusun perencanaan CSR pihak perseroan melibatkan unsur masyarakat yang terkait dan terdampak dari aktivitas perseroan.
Masih banyak sebenarnya hal atau aspek yang harus secara terinci dimasukkan dalam Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2012.
Potensi Dana Sangat Besar
Sesuai dengan Pasal 74 UU No. 40 tahun 2007, perseroan yang berkewajiban mempunyai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan atau CSR sangat potensial. Kita sebut saja perseroan yang bergerak dalam perkebunan sawit, kopi, karet daan sebagainya. Juga perseroan di bidang peternakan khususnya ternak unggas, industry persusuan /sapi perah, dan usaha penggemukan sapi skala besar. Usaha di bidang pertambangan batubara, nikel, emas dan lain lainnya juga masuk dalam katagori yang mempunyai kewajiban untuk CSR karena bergerak yang kaitannya dengan sumberdaya alam. Masih banyak lagi perseroan yang masuk dalam katagori memiliki kewajiban seperti tersebut dalam Pasal 74 UU No. 40 tahun 2007.
Penulis sadar bahwa belum tentu Presiden Joko Widodo atau Menteri yang bersangkutan seperti Menteri Sekretaris Negara, Menteri Keuangan, serta pejabat lain akan peduli dengan pemikiran pendayagunaan CSR karena mungkin dianggap tidak sexy. Tetapi mungkin penguasa baru di tahun 2024 nanti akan tertarik dan menaruh perhatian untuk memberdayakan CSR untuk pengembangan usaha kecil di berbagai bidang serta perbaikan lingkungan .